Tulisan
Lima Petani Kopi Dampingan PESADA Studi Banding Ke Takengon
Sejak dahulu, kopi merupakan salah satu tanaman yang ditekuni para petani bahkan merupakan komoditi unggulan pertanian yang terkenal dari Dairi, Pakpak Bharat dan Humbang Hasundutan. Jenis kopi yang ditanam adalah kopi robusta. Pada tahun 90-an petani beralih menanam kopi Arabika. Petani hanya menjual biji dan tidak memiliki pengetahuan mengolah biji kopi Arabika menjadi bubuk kopi yang enak. Selain itu petani mengalami masalah pada tanaman kopi yaitu mengalami kerusakan karena serangan hama dalam bentuk jamur, serangga, daun dan buahnya busuk
Untuk mengetahui cara penanaman kopi dan perawatan serta pengelolaan kopi menjadi produk yang bernilai jual tinggi, 5 orang dampingan PESADA berkesempatan mengikuti studi banding ke Takengon sebagai daerah penghasil kopi Arabika dengan citarasa yang enak. Dan berketepan juga salah satu Dewan Pengurus PESADA Samsidar berdomisili di Takengon dan punya pengalaman terkait pertanian kopi Arabika.
Kegiatan ini berhubungan dengan toeri perubahan yang ingin dicapai oleh PESADA untuk memunculkan sejumlah usaha-usaha mandiri perempuan (eksis & baru).
Tujuan studi banding diharapkan peserta memahami cara budi daya kopi Arabika, mulai dari memilih bibit, menanam, merawat, panen hingga proses pasca panen. Meningkatkan keterampilan untuk pengolahan produk kopi yang layak menjadi produk unggulan. Serta mampu menghasilkan produk kopi yang memiliki standart cita rasa dan bersaing di pasar.
Studi banding ini dilaksanakan pada tanggal 7 – 9 Desember 2022. Peserta merupakan perwakilan anggota dari Kab. Dairi, Pakpak Bharat, Samosir dan Humbang Hasundutan sebanyak 5 orang, pendamping 2 orang. Di mana mereka adalah perempuan petani kopi, memiliki usaha bubuk kopi, dan akan mempraktekkan proses hasil dari studi banding nantinya.
Selama di Takengon ada 4 lokasi yang menjadi tempat untuk belajar dan berdiskusi bagi peserta. Lokasi yang pertama berada di Desa Mutiara Baru Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah bertemu dengan Leader Perempuan (petani kopi) ibu Muzaputri dan Sekretaris Desa (Petani-penggiat Kopi) bapak Bernard Gunawan dampingan RPuK. Yang kedua di Desa Rembele Kecamatan Bukit Bener Meriah bertemu dengan Ketua Koperasi Petani Kopi Ariba bapak Wisto dan Penggiat Kopi dampingan RPuK dan LBH APiK ibu Yusdarita.
Lokasi yang ketiga dan keempat merupakan Café Kopi yang memproduksi kopi Arabika dengan berbagai citra rasa dengan konsep café alam berada di ladang kopi. Nama café yang dikunjungi Seladang Café dan Galery Kopi Indonesia.
Banyak hal baru yang diperoleh dari hasil studi banding terkait kopi Arabika. Dulu petani kopi dari Takengon belajar kopi sampai ke Sumatera Utara. Sekarang orang-orang dari luar Takengon seperti dari Sumatera Utara, Jambi bahkan dari Jawa belajar kopi ke Takengon. Sekitar tahun 1990 mulai dikembangkan kopi Arabica varietas unggul yang disebut kopi ‘Ateng (Aceh Tengah)’ hingga menyebar ke Sumatera Utara. Kopi Ateng ini dapat tumbuh diketinggian 1000 – 1600 meter dari permukaan laut dan di kenal dengan nama kopi Gayo. Pemaham selama ini disebut kopi Ateng karena pohonnya pendek dan cepat berbuah atau sering disebut kopi ‘sigarar hutang’.
Peserta juga mendapat pengetahuan bagaimana cara memilih buah kopi untuk dijadikan bibit yang baik agar nanti bisa bertumbuh puluhan tahun, proses penanaman, perawatan, pemangkasan hingga pasca panen (diolah menjadi bubuk kopi). Menurut cerita petani kopi ibu Yusdarita dan bapak Wisto, kopi dilahan mereka telah berumur 30 tahun.
Untuk bibit yang ditanam menurut pengalaman peserta selama ini mereka milih bibit kopi dari kopi yang jatuh di sekitar pohon kopi dan itu yang dijadikan bibit, ternyata hal tersebut tidak disarankan. Selain itu juga pohon kopi dilahan peserta dibiarkan menjulang tinggi, ketika dilihat di semua lahan kopi sekitar Takengon kopi berukuran pendek setinggi 100 – 150 cm karena petani memotong pucuk batang kopi agar tidak menjulang tinggi. Sehingga bila dilihat semua lahan kopi berbentuk payung dan orang bisa beteduh atau bersembunyi di bawa pohon kopi.
Peserta studi banding juga memperoleh pengetahuan cara mengolah buah kopi menjadi bubuk kopi yang siap dikonsumsi dengan citra rasa yang enak dan berbagai varian (medium kopi, dark kopi, wine kopi, honey kopi, dll). Proses pengolahannya butuh waktu yang lama dan harus ‘menjiwainya sepenuh hati’ agar menghasilkan rasa yang nikmat. Pengolahan kopi bubuk ada dengan dua cara, modern dan traditional. Cara modern menggunakan mesin gonseng (roasting) dengan harga mencapai 60juta sampai ratusan juta rupiah. Secara traditional mengonseng dengan alat kuali besi atau kuali dari bahan tanah liat dan alat untuk mengiling dengan mengunakan tumbukan atau lumpang.
Semoga dengan dilakukanya studi banding ini peserta sebagai perwakilan dari dampingan setiap kabupaten memperoleh pengetahuan secara teknis budidaya kopi arabika, mulai dari pemilihan bibit, penanaman, perawatan, memanen dan pasca panen. Dan peserta dapat mengolah biji kopi menjadi bubuk kopi yang siap untuk diminum dan bersaing di pasar dengan kemasan yang menarik. Serta dapat menjadi kader pertanian kopi Arabika di daerah dampingan masing-masing. (MP)