Siaran Pers
SIARAN PERS
PESADA Dan Kader Bangkit Bersama Melewati Masa Pandemic Covid-19
Menuju Kekuatan Ekonomi Politik Perempuan Akar Rumput Berkelanjutan Dan Berpengaruh Pada Tahun 2030.
Nomor: 133 /A.1.5/DE/PESADA-Sdk/X/2021
Pandemi Covid-19 di Indonesia menunjukkan trend membaik dengan menurunnya kasus aktif hanya 18.000 kasus per 18 October 2021. Meski semakin membaik, dampak pandemi Covid-19 telah menyebabkan semakin meningkatnya angka kemiskinan ekstrim di dunia. Data BPS, mencatat bahwa per bulan Maret 2021, terdapat 27,54 juta atau 10.14 % dari populasi nasional.[1] Sementara itu, berdasarkan data pemuktahiran Data Terpadu Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial mencatat jumlah orang miskin sebanyak 74 juta pada September 2021.[2] , sedangkan Kementerian Ketenagakerjaaan mencatat terdapat 8,75 juta pengangguran terbuka dan sebanyak 538.305 pekerja di PHK.[3] Situasi kemiskinan yang diperparah oleh pandemic Covid-19 telah menyebabkan terhambatnya akses dan control dari perempuan, anak perempuan dan kelompok minoritas dalam memperoleh layanan dasar, menurunnya kualitas hidup, mengalami penelantaran, eksploitasi dan kekerasan.
Dalam perspektif ketidaksetaraan gender, kemiskinan ditandai oleh wajah perempuan miskin baik perempuan petani, perempuan pedesaan, perempuan adat dan kelompok minoritas lainnya. Perempuan sangat rentan terdampak paling buruk dibanding laki-laki mengingat kontruksi patriarkhi yang sangat kuat di masyarakat. Terdapat ketimpangan akses dan control yang dimiliki laki-laki dibandingkan dengan perempuan terhadap sumberdaya publik. Selain itu, faktor kemiskinan sering menjadi pemicu kekerasan berbasis gender yang dialami oleh perempuan maupun anak perempuan. Menurut data WCC Sinceritas-PESADA, mencatat terdapat 190 kasus kekerasan terhadap perempuan (KtP) pada tahun 2020 – 2021, dimana paling banyak kasus KDRT, kemudian disusul KtP di arena publik, KtP terhadap anak perempuan dan kekerasan dalam pacaran, serta Kekerasan terhadap Perempuan Berbasis Online. Di Sumatera Utara dimana budaya adat patriarkhi yang memposisikan perempuan pedesaan tidak berdaya oleh nilai-nilai adat yang tidak sentitive terhadap kebutuhan dan kepentingan perempuan, perempuan pedesaaan/adat yang mengalami kekerasan masih kesulitan dalam memperjuangkan keadilan. Padahal dalam perspektif hak azasi perempuan dan paradigma pembangunan berkelanjutan, semestinya perempuan pedesaan tidak boleh mengalami diskriminasi termasuk dalam penerapan praktik adat di masyarakat.
Perempuan pedesaan saat ini pun masih dihadapkan pada permasalahan di sektor pertanian pangan. Dari 14,411 perempuan dampingan PESADA yang tersebar di 12 kab/kota di Sumatera Utara, terdapat 80 % Petani Perempuan yang umumnya mengembangkan pertanian pangan. Mereka juga umumnya tinggal di pedesaan dan merupakan bagian dari masyarakat adat (Batak Toba, Pakpak, Karo, Nias, Melayu) yang masih menghadapi permasalahan seperti tidak ada pengakuan atas hak kepemilikan tanah, dominasi penguasaan korporasi atas tanah, ketergantungan kepada pupuk kimia dan input pertanian lainnya versus harga jual produk pertanian yang rendah, keharusan untuk tunduk kepada keputusan-keputusan adat yang tidak adil gender dalam masalah KDRT maupun kekerasan seksual. Posisi Petani Perempuan mulai “disingkirkan” perannya sebagai produsen pertanian pangan lokal yang beragam, sehat dan lestari oleh korporasi. Kalau dulunya Petani Perempuan bertani pangan yang selaras dengan alam, tetapi kini sistem monokultur diterapkan di areal lahan luas oleh Food Estate (baca: Korporasi) akan berdampak rusaknya keragaman hayati. Apalagi bertani ala food estate dikembangkan dengan mengkonversi hutan alam, maka akan menciptakan emisi carbon terurai sangat besar (carbon sink and sequestration). Sementara kewajiban mereka sebagai perempuan di masyarakat adat tidak berubah, perempuan adat tetap sebagai pelayan yang patuh, menjadi ibu yang harus melahirkan anak terutama anak laki-laki sebagai penerus keturunan, pelaksana keputusan adat, bahkan menjadi korban dalam kasus-kasus tanah karena minimnya keterlibatan dalam pengambilan keputusan ataupun musyawarah.
Perkumpulan Sada Ahmo (PESADA) sebagai lembaga penguatan perempuan yang telah bekerja sejak tahun 1990, telah melakukan pengorganisasian perempuan akar rumput, penguatan ekonomi perempuan, pendampingan perempuan korban kekerasan, dan advokasi kebijakan untuk pemenuhan hak-hak perempuan. Secara khusus, di tahun-tahun terakhir ini, Theory of Chnage PESADA semakin mengarah ke penguatan kader untuk kedaulatan pangan keluarga dan masyarakat, serta keberpihakan kepada perempuan pedesaan, perempuan adat, dan kelompok minoritas. Keberpihakan tersebut ditunjukkan oleh PESADA secara eksplisit ke dalam dua dari empat misinya yaitu penguatan ekonomi perempuan akar rumput untuk gerakan ekonomi rakyat yang setara gender, inklusif dan berkelanjutan; dan penguatan keterwakilan dan kepemimpinan perempuan & kelompok minoritas, untuk perlawanan terhadap patriarkhi, fundamentalisme, primordialisme dan oligarki mulai dari pedesaan dan di lembaga adat dan agama.
Maka dalam rangka memperingati Hari Pangan Sedunia (15 Oktober 2021), Hari Perempuan Pedesaaan (16 Oktober 2021) dan Hari Anti Pemiskinan Perempuan (17 Oktober 2021) yang bersamaan dengan bulan Peringatan Ulang Tahun ke 31, PESADA akan menyelenggarakan serangkaian kegiatan peningkatan kapasitas mengenai ha-hak perempuan kelompok minoritas & rentan bagi kader, serta refleksi dan ucapan syukur pada tanggal 28-29 Oktober 2021 yang akan diikuti oleh sekitar 180 orang terdiri dari 167 perempuan, 13 laki-laki secara hybrid (tatap muka dan daring). Peringatan HUT PESADA ke 31 tahun menitikberatkan perhatian kepada resiliensi PESADA dan Kader yang bangkit bersama melewati masa Pandemic Covid-19 menuju kekuatan ekonomi politik perempuan akar rumput berkelanjutan dan berpengaruh pada tahun 2030. Oleh karena itu, PESADA menyerukan kepada pemerintah, masyarakat dan stakeholder, sebagai berikut:
- Mendorong Pemerintah agar meninjau ulang kebijakan sektor pangan seperti Food Estate yang dinilai tidak berkelanjutan, tidak melibatkan Petani Perempuan dan hanya menguntungkan korporasi dengan mengembangkan kebijakan pangan agroekologi yang berpihak kepada Petani Perempuan sebagai subjek dalam membangun kedaulatan pangan yang sehat, lokal, lestari dan adil.
- Mendorong Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa untuk memastikan pemenuhan layanan hak-hak dasar bagi Perempuan Pedesaaan, Perempuan Petani, Perempuan Miskin dan Kelompok Minoritas; serta menerapkan kebijakan affirmatif untuk mendorong kesetaraan akses dan control terhadap sumberdaya, serta meningkatkan kepemimpinan perempuan di arena publik.
- Menghimbau Komunitas Adat dan masyarakat agar memberikan perlindungan bagi Perempuan Adat yang mengalami kekerasaan berbasis gender dan terbuka untuk melakukan perubahan terhadap aturan adat yang diskriminatif terhadap perempuan, khususnya hak-hak perempuan atas tanah dan bebas dari KDRT maupun kekerasan seksual.
Penuhi Hak Petani Perempuan dan Perempuan Pedesaan
untuk Penghapusan Pemiskinan Perempuan!
Sidikalang, 23 Oktober 2021
Dinta Solin
Direktur Eksekuti PESADA
Narahubung:
- Dina Lumbantobing (HP. 082164666615)
- Ronald Silalahi (HP. 081362348153)
[1] Badan Pusat Statistik (bps.go.id)
[2] Warga Miskin Bertambah Jadi 74 Juta Orang per September 2021 (tirto.id)
[3] Menaker Klaim Jumlah Pengangguran Terbuka di Indonesia Menurun (kompas.com)