Newsletter subscribe

Berita

Menuju Kekuatan Ekonomi Politik Perempuan Akar Rumput Berkelanjutan dan Berpengaruh Pada 2030

Posted: October 25, 2021 at 5:13 pm   /   by   /   comments (0)

Minggu, 24 Okt 2021 16:48 WIB

https://analisa.link/1023427/

Menuju Kekuatan Ekonomi Politik Perempuan Akar Rumput Berkelanjutan dan Berpengaruh Pada 2030

Rapat Online Perkumpulan Sada Ahmo (PESADA) membahas Perayaan Ultah ke-31 pada 28-29 Oktober 2021. (Dok. PESADA)
Analisadaily.com, Sidikalang- Meski pandemi Covid-19 telah menunjukkan tren membaik dengan menurunnya kasus aktif hanya 18.000 kasus per 18 Oktober 2021, namun dampak pandemi Covid-19 telah menyebabkan meningkatnya angka kemiskinan ekstrim. Data BPS, mencatat per Maret 2021, terdapat 27,54 juta (10.14 %) jumlah orang miskin. Sementara merujuk pada Pemutakhiran Data Terpadu Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial, terdapat 74 juta orang miskin pada September 2021. Jumlah pengangguran terbuka, merujuk data Kementerian Ketenagakerjaaan, mencapai 8,75 juta, dan sebanyak 538.305 pekerja mengalami PHK.
“Situasi kemiskinan yang diperparah oleh pandemi Covid-19, telah menyebabkan terhambatnya akses dan kontrol dari perempuan, anak perempuan dan kelompok minoritas dalam memperoleh layanan dasar, menurunnya kualitas hidup, mengalami penelantaran, eksploitasi dan kekerasan, “ demikian dikemukakan Direktur Eksekutif Perkumpulan Sahda Ahmo (PESADA), Dinta Solin dalam siaran persnya yang diterima Analisadaily.com, Minggu (24/10).
Menurut Dinta Solin, dalam perspektif ketidaksetaraan gender, kemiskinan ditandai oleh wajah perempuan miskin, baik perempuan petani, perempuan pedesaan, perempuan adat dan kelompok minoritas lainnya. Perempuan sangat rentan terdampak paling buruk dibanding laki-laki mengingat kontruksi patriarkhi yang sangat kuat di masyarakat. Terdapat ketimpangan akses dan kontrol yang dimiliki laki-laki dibandingkan dengan perempuan terhadap sumberdaya publik. Selain itu, faktor kemiskinan sering menjadi pemicu kekerasan berbasis gender yang dialami oleh perempuan maupun anak perempuan. “Data WCC Sinceritas-PESADA 2020-2021 mencatat terdapat 190 kasus kekerasan terhadap perempuan (KtP), dimana paling banyak berbentuk kasus KDRT, KtP di arena publik, KtP terhadap anak perempuan, kekerasan dalam pacaran, dan Kekerasan terhadap Perempuan Berbasis Online,” ujarnya.
Budaya adat patriarkhi juga semakin memposisikan perempuan pedesaan tidak berdaya oleh nilai-nilai adat yang tidak sensitif terhadap kebutuhan dan kepentingan perempuan. Akibatnya perempuan pedesaaan/adat yang mengalami kekerasan, masih kesulitan dalam memperjuangkan keadilan. Ancaman Pertanian Monokultur oleh Korporasi “Padahal dalam perspektif hak asasi perempuan dan paradigma pembangunan berkelanjutan, semestinya perempuan pedesaan tidak boleh mengalami diskriminasi termasuk dalam penerapan praktik adat di masyarakat,” ujar Dinta Solin. Ia juga menyebut bahwa perempuan pedesaan saat ini juga dihadapkan pada permasalahan di sektor pertanian pangan. Menuruut Dinta, Dari 14,411 perempuan dampingan PESADA yang tersebar di 12 kabupaten/kota di Sumatera Utara, 80% petani perempuan umumnya mengembangkan pertanian pangan. Mereka tinggal di pedesaan dan bagian dari masyarakat adat (Batak Toba, Pakpak, Karo, Nias, Melayu). Masalah yang dihadapi perempuan petani selain tidak ada pengakuan atas hak kepemilikan tanah. Hak atas tanah kini didominasi penguasaan korporasi. Selain itu ada juga masalah ketergantungan kepada pupuk kimia dan input pertanian lain, versus harga jual produk pertanian yang rendah.
“Mereka juga harus tunduk kepada keputusan-keputusan adat yang tidak adil gender dalam masalah KDRT maupun kekerasan seksual,” tambahnya. Posisi petani perempuan sebagai sebagai produsen pertanian pangan lokal yang beragam, sehat dan lestari juga mulai disingkirkan oleh korporasi swasta. Jika sebelumnya petani perempuan bertani pangan mengembangkan pertanian pangan yang selaras dengan alam, tetapi kini sistem monokultur diterapkan di areal lahan luas oleh Food Estate yang akan berdampak terhadap rusaknya keragaman hayati.

“Apalagi bertani ala food estate dikembangkan dengan mengkonversi hutan alam, maka akan menciptakan emisi karbon terurai sangat besar (carbon sink and sequestration),” ujar Dinta Solin. Di sisi lain Sementara kewajiban mereka sebagai perempuan di masyarakat adat tidak berubah. Mereka tetap merupakan pelayan yang patuh, ibu yang harus melahirkan anak, terutama anak laki-laki sebagai penerus keturunan, pelaksana keputusan adat, bahkan menjadi korban dalam kasus-kasus tanah karena minimnya keterlibatan dalam pengambilan keputusan ataupun musyawarah. Tanggal 28-29 Oktober Peringatan Ultah Pesada ke-31 Karena itu dalam rangka memperingati Hari Pangan Sedunia (15 Oktober 2021), Hari Perempuan Pedesaaan (16 Oktober 2021), Hari Anti Pemiskinan Perempuan (17 Oktober 2021) dan bersamaan bulan Peringatan Ulang Tahun ke31, PESADA akan menyelenggarakan serangkaian kegiatan peningkatan kapasitas mengenai hak-hak perempuan kelompok minoritas & rentan bagi kader, serta refleksi dan ucapan syukur pada tanggal 28-29 Oktober 2021. Kegiatan direncanakan akan diikuti sekitar 180 orang terdiri dari 167 perempuan, 13 laki-laki secara hybrid (tatap muka dan daring). Menurut Dinta, peringatan HUT PESADA ke 31 menitikberatkan perhatian kepada resiliensi PESADA dan Kader yang bangkit bersama melewati masa Pandemi Covid-19 menuju kekuatan ekonomi politik perempuan akar rumput berkelanjutan dan berpengaruh pada tahun 2030. Sehubungan dengan kegiatan tersebut, PESADA menyerukan kepada pemerintah, masyarakat dan stakeholder, sebagai berikut:

  1. Mendorong Pemerintah agar meninjau ulang kebijakan sektor pangan seperti Food Estate yang dinilai tidak berkelanjutan, tidak melibatkan petani perempuan dan hanya menguntungkan korporasi dengan mengembangkan kebijakan pangan agroekologi yang berpihak kepada Petani Perempuan sebagai subjek dalam membangun kedaulatan pangan yang sehat, lokal, lestari dan adil.
  2. Mendorong Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa untuk memastikan pemenuhan layanan hak-hak dasar bagi Perempuan Pedesaaan, Perempuan Petani, Perempuan Miskin dan Kelompok Minoritas; serta menerapkan kebijakan affirmatif untuk mendorong kesetaraan akses dan control terhadap sumberdaya, serta meningkatkan kepemimpinan perempuan di arena publik.
  3. Menghimbau Komunitas Adat dan masyarakat agar memberikan perlindungan bagi Perempuan Adat yang mengalami kekerasaan berbasis gender dan terbuka untuk melakukan perubahan terhadap aturan adat yang diskriminatif terhadap perempuan, khususnya hak-hak perempuan atas tanah dan bebas dari KDRT maupun kekerasan seksual.

Sebagai lembaga penguatan perempuan, Perekumpulan PESADA menurut Dinta telah bekerja sejak 1990, dalam bentuk pengorganisasian perempuan akar rumput, penguatan ekonomi perempuan, pendampingan perempuan korban kekerasan, dan advokasi kebijakan untuk pemenuhan hak-hak perempuan. Secara khusus, di tahun-tahun terakhir ini, Theory of Chnage PESADA semakin mengarah ke penguatan kader untuk kedaulatan pangan keluarga dan masyarakat, serta keberpihakan kepada perempuan pedesaan, perempuan adat, dan kelompok minoritas. “Keberpihakan tersebut ditunjukkan PESADA secara eksplisit ke dalam dua dari empat misinya yaitu penguatan ekonomi perempuan akar rumput untuk gerakan ekonomi rakyat yang setara gender, inklusif dan berkelanjutan; dan penguatan keterwakilan dan kepemimpinan perempuan dan kelompok minoritas, untuk perlawanan terhadap patriarkhi, fundamentalisme, primordialisme dan oligarki mulai dari pedesaan dan di lembaga adat dan agama,” katanya. (Rel- Ja) (JA)

https://analisadaily.com/berita/baca/2021/10/24/1023427/menuju-kekuatan-ekonomi-politik-perempuan-akar-rumput-berkelanjutan-dan-berpengaruh-pada-2030/