Berita
#Kota Kita Kovid Seri Kota Medan – Pandemi Bersemi, Ruang Terbuka Sepi?
Vassilisa Agata, 8 March 2021
Aktivitas olahraga di atap rumah sakit
Sumber: Dokumentasi pribadi dr. Delyuzar, 2020
Merdeka Walk, pusat kuliner ruang terbuka menjadi destinasi rekomendasi selama beberapa tahun terakhir di Medan. Selama waktu itu pula, Komunitas Taman menyuarakan untuk menutup area tersebut. Pusat kuliner tersebut berada di area Lapangan Merdeka Medan, sebuah situs sejarah penting bagi masyarakat Medan. “Sekarang alam yang menutup area tersebut!” Miduk Hutabarat, aktivis Komunitas Taman, melihat pandemi sebagai momentum. Bukan saja untuk kembali memperjuangkan Lapangan Merdeka, tetapi juga mendefinisikan kembali fungsi ruang terbuka hijau di Medan.
“Pemerintah dan media memiliki framing masing-masing dalam melihat pandemi. Penting bagi kita untuk menyuarakan perspektif warga.” Untuk mewujudkannya, ia berkolaborasi dengan rekan-rekan dari beragam latar belakang. Dalam sebuah diskusi virtual, tujuh tokoh berbagi perspektif tentang potensi pengembangan ruang terbuka hijau kota Medan.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan ruang terbuka hijau perkotaan?
Dina Lumbantobing, Koordinator Women Crisis Center Sinceritas Pesada, mengawali perspektifnya dengan memaparkan peraturan kementrian terkait. Berdasarkan Permen 1/2007, Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP) adalah kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Permen tersebut mensyaratkan setiap kota harus memiliki sedikitnya 20% RTHKP, sementara kenyataannya di Medan baru memiliki 7%. Selain permasalahan luas, pemerintah juga telah mengatur sembilan pemanfaatan RTHKP di Permen PU 05/PRT/M/2008 yang secara garis besar mencakup cerminan identitas kota, sarana aktivitas perekonomian, sosial, rekreasi, dan ekologis. Dalam peraturan tersebut tertuang RTHKP ditujukan sebagai sarana aktivitas sosial yang setara untuk semua golongan, dari anak-anak, remaja, dewasa, dan manula. Namun, Dina Lumbantobing mempertanyakan dari perspektif kaum marginal.
Seberapa banyak yang warga tahu tentang manfaat dan hak warga terhadap RTHKP tersebut? Apa tantangan yang dihadapi oleh publik dalam mengakses RTHKP?
Menjawab pertanyaan tersebut, Dina Lumbantobing memaparkan beberapa tantangan yang dihadapi oleh masyarakat. Pertama, kesenjangan akses. Area taman umumnya terletak di area privat, seperti perumahan, menengah ke atas, jauh dari pemukiman menengah ke bawah. Kedua, jalur transportasi yang tidak selalu mendukung untuk mengakses ruang hijau terbuka yang tersedia, terutama untuk keamanan pejalan kaki yang berada di area tersebut. Faktor berikutnya adalah kenyamanan dan kebersihan selama berada di ruang terbuka. Sampah yang terlihat di ruang-ruang terbuka hijau, tidak adanya toilet publik, hingga minimnya fasilitas yang mendorong orang menggunakan RTHKP. Akses bagi semua orang juga menjadi tantangan yang berulang muncul. Apakah jalan setapak bisa diakses oleh kaum difabel? Apakah penerangan kota membuat perempuan merasa aman berada di ruang terbuka hijau saat malam? Bagaimana dengan premanisme, orang dengan gangguan jiwa, yang terkadang ditemukan berkeliaran? Seringkali ruang terbuka hijau dikonstruksi untuk memenuhi estetika dan ekologis, tetapi tidak bisa digunakan oleh warga.
Meuthia Fadila, Ketua Asosiasi Pusat Studi Wanita/Gender dan Anak Indonesia (ASWGI), dan Yurisna Tanjung, Ketua Pusat Studi Gender & Anak (PSGA) UMSU, juga memaparkan pentingnya memikirkan RTHKP yang ramah anak. Ruang Bermain Ramah Anak (RBRA) tercakup dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. RBRA mengakomodasi kegiatan bermain anak, dari kandungan dalam kandungan hingga sebelum 18 tahun, yang aman, nyaman, terlindung dari kekerasan dan tindakan diskriminatif. RBRA didesain untuk menjadi ruang mengembangkan kecerdasan intelektual, sosial, motorik, dan bahasa. Dari observasi tim Meuthia Fadila dan Yurisna Tanjung, pemerintah kota Medan belum memenuhi kebutuhan ini.
Sebenarnya, desain dan fasilitas RBRA tidak rumit, malah diusahakan untuk murah dan sederhana, tetapi tetap sesuai dengan kebutuhan penggunanya, termasuk anak-anak difabel. Area tidak perlu luas tetapi minimal memiliki 5 jenis permainan yang kreatif dan inovatif menggunakan kearifan lokal. RBRA ini haruslah gratis untuk diakses semua pihak. Saat ini, kebutuhan untuk rekreasi anak masih tergantung sekali pada kemampuan ekonomi keluarga, karenanya peran pemerintah kota penting untuk menutupi kesenjangan antarkelas.
Di awal pandemi, tantangan akses terhadap RTHKP menjadi semakin jelas. Awalnya, pemerintah menutup taman kota, hutan kota, lapangan, dan RTHKP lain untuk menghindari terjadinya kerumunan. Namun penutupan ini kontraproduktif dengan anjuran pemerintah untuk memperbanyak olahraga demi meningkatkan imun tubuh.”Obat yang penting bagi kita: vitamin D dari sinar matahari. Nah, tapi bagaimana orang mau berolahraga, tapi tempatnya padat? Bagaimana kita yakin untuk berolahraga dengan aman dengan tidak pakai masker, kalau RTHKP kita tidak menjamin untuk bisa berjarak atau tidak berkerumun?” dr. Delyuzar dari Jaringan Kesehatan Masyarakat mendukung pemaparan yang diberikan Bu Dina Lumbantobing. Dengan jumlah pasien rumah sakit yang membludak karena COVID, juga masih ditambah pasien dari penyakit lainnya, dr. Delyuzar juga mencermati kebutuhan ruang terbuka hijau di dalam area rumah sakit.
“Kalau kita nonton sinetron, pasien diantarkan keluarganya ke taman-taman rumah sakit,” dr. Delyuzar mendeskripsikan cerminan realitas berbeda yang diangkat media. “Tapi ini sudah hampir tidak ada lagi di bangunan rumah sakit modern. Padahal, bangunan rumah sakit yang sesungguhnya harusnya ada taman.”
Observasi singkat Komunitas Taman terhadap RTHKP menunjukkan semakin sepinya taman dan lapangan kota yang biasanya dipadati oleh warga. Komunitas Taman melakukan observasi di lima area yakni Lapangan Merdeka, Lapangan Benteng, Taman Ahmad Yani, Stadion Teladan, dan Taman Beringin. Meskipun mobilitas masyarakat terbatas selama pandemi, tetapi data dari Google Mobility menunjukkan hal yang berbeda. Jono Sianipar dari Kawal Kovid Sumut memaparkan data mobilitas penduduk Sumatra Utara dari April hingga November 2020. Data tersebut mendata pergerakan pengguna Google secara anonim yang menyalakan pengaturan pelacakan lokasi.
Berkebalikan dengan observasi awal Komunitas Taman yang menemukan berkurangnya keramaian publik di ruang terbuka hijau, data ini menunjukkan adanya akses yang signifikan ke area taman. Aktivitas belanja dan rekreasi juga berada di garis normal. Meskipun data ini tidak bisa mewakili perilaku masyarakat Medan, temuan ini bisa menjadi awal baru untuk meneliti perubahan kebutuhan masyarakat terhadap RTHKP. Berangkat dari potensi inilah, juga kesempatan untuk menciptakan skenario baru terhadap RTHKP, Miduk Hutabarat, aktivis Komunitas Taman, bekerja sama dengan Destanul Aulia, dari Medan City Merdeka merencanakan sebuah survei persepsi dan kebutuhan warga terhadap RTHKP.
Apa saja rekomendasi untuk skenario RTHKP setelah pandemi?
“Pandemi ini hanya sebagai pemicu. Pedoman kita bagi aktivis untuk mendorong kebijakan kota,” ungkap Miduk Hutabarat, “Seluruh warga mengakses ruang terbuka, bukan hanya untuk kesehatan saja, tetapi juga sarana bertemu dengan warga lain. Ini juga akan meningkatkan kualitas hidup kita sebagai makhluk sosial.”
Rekomendasi pertama diberikan oleh dr. Delyuzar yang menekankan pentingnya ruang terbuka hijau di bangunan rumah sakit. Ia berangkat dari eksistensi sanotarium. Dulu, saat TBC belum ditemukan obatnya, para pasien diisolasi keluar kota di daerah dataran tinggi seperti Brastagi, Bukittinggi, dan Lembang. Sanatorium lebih mirip seperti tempat peristirahatan, alih-alih rumah sakit yang kaku, dengan ruang terbuka hijau yang luas sebagai tempat pasien berjemur dan bersosialisasi. Konsep seperti inilah yang dibutuhkan di rumah sakit modern.
Di sebuah RS di Medan, digagas oleh aktivis LSM. Direktur RSnya mantan direktur BKBI. Dokter yang s2 dan s3nya hukum kesehatan. Di bagian atas RS tersebut ada ruang terbuka, pasien bisa melakukan kegiatan berjemur, ada instruktur olahraganya, ada pertemuan sosial. RS lain terkurung di kamar masing-masing. Hal ini sudah coba diterapkan di RS Santa Elisabeth Medan. Pasien COVID-19 bisa berjemur dan melakukan olahraga di atap rumah sakit yang disediakan sebagai ruang terbuka yang bisa diakses pasien.
Saat ini, rumah sakit umumnya tidak memiliki ruang khusus untuk menangani pasien COVID. Perlu ada zona yang memisahkan interaksi antarpasien dan kerabat pasien di dalam rumah sakit. Tingkat kematian petugas kesehatan juga masih tinggi, meski sudah mengenakan APD lengkap. Ruang terbuka hijau di lingkungan rumah sakit juga mendukung kesehatan pasien. Di sanalah, pasien bisa berjemur, berolahraga dan berjarak antarorang, serta tetap ada interaksi sosial.
Jono Sianipar memberikan rekomendasi berikutnya tentang RTHKP, khususnya setelah melihat interaksi di tengah pandemi. Pertama, RTHKP perlu diperluas dan dibangun merata. dengan menyeimbangkan fungsi sosial dan kesehatan masyarakat. Hal ini bisa diwujudkan dengan mendesain kerapatan vegetasi yang mempertimbangkan ruang gerak warga. Pembangunan terpusat perlu dihindari untuk memperpendek jarak perjalanan warga dalam mengakses RTHKP. Kedua, protokol kesehatan dan kelengkapan sanitasi penting disediakan demi keamanan dan kenyamanan warga. Protokol kesehatan tersebut mencakup, pembatasan jenis aktivitas, jadwal kunjungan untuk membatasi kerapatan pengunjung. Ketiga, jalur transportasi dan parkir kendaraan, termasuk untuk pejalan kaki dan pesepeda, perlu didesain. Akses ini juga termasuk tersedianya internet di RTHKP. Jono Sianipar juga menyarankan kewenangan pengelolaan diarahkan ke tingkat kelurahan untuk memastikan meratanya pengelolaan.
Kesetaraan akses untuk setiap warga juga menjadi fokus dari Dina Lumbantobing. Salah satunya adalah pelibatan kaum perempuan, anak, kaum difabel, lansia, dan keluarga miskin di desain perkotaan. Menggunakan metode partisipatif untuk menggali kebutuhan semua pihak demi terciptakan ruang publik yang inklusif, nyaman, dan aman. Selain itu, perencanaan desain kota perlu didukung oleh pengumpulan data, analisis, dan penggunaan data terpilah berdasarkan jenis kelamin, usia, etnis, identitas gender, kebutuhan khusus kaum difabel, dan meliputi semua kelas masyarakat. Khusus untuk perempuan, pentingnya perspektif untuk memadukan ruang khusus perempuan dan ruang ramah perempuan. Selain perempuan, anak juga merupakan pihak yang penting dalam desain kota. Meuthia Fadila dan Yurisna Tanjung mendorong adanya ruang terbuka hijau dan ruang bermain ramah anak di setiap lingkungan perumahan dan kecamatan. Pihak sekolah juga perlu menyediakan halaman sekolah untuk bermain dan beraktivitas. Selama masa pandemi, penting juga bagi pemerintah kota dan sekolah untuk menyediakan akses ke RBRA dengan protokol kesehatan yang memadai. Berada di rumah saja juga memengaruhi kesehatan mental dan perkembangan kecerdasan sosial anak. Desain kota yang multiperspektif penting untuk peningkatan kualitas kota. Banyaknya alih fungsi lahan RTHKP dan pembangunan lahan untuk komersialisasi perlu diimbangi dengan pembangunan pusat aktivitas lain seperti taman budaya, gedung kesenian, rekreasi, dan penghijauan. Keseimbangan ini demi kualitas hidup masyarakat yang ada di dalam ruang kota. Mengutip dr. Delyuzar, “Kita menjamin kesejahteraan warga dengan keberadaan ruang terbuka yang bisa meningkatkan daya tahan masyarakat.”
https://bukuhariankorona.org/kotakitakovid-seri-kota-medan-pandemi-bersemi-ruang-terbuka-sepi/