Siaran Pers WCC Sinceritas-PESADA

Siaran Pers WCC Sinceritas-PESADA
Nomor: 09/D.5/P.J. Sinceritas/Pesada-Mdn/II/2019

Perempuan Penyandang Disabilitas khususnya Anak Perempuan

Rentan Terhadap Kekerasan Seksual dan Perkosaan Incest.

Sepanjang tahun 2018, WCC Sinceritas-Pesada menangani secara langsung 159 kasus perempuan korban kekerasan. Mayoritas kasus untuk perempuan dewasa cenderung sama pola maupun jumlah sebagaimana di tahun-tahun sebelumnya, yaitu KDRT sebanyak 81 kasus (51%) dan kekerasan di arena publik sebanyak 44 kasus (28%). Meski WCC Sinceritas-Pesada dimaksudkan untuk penanganan perempuan non anak dan tidak mempunyai keahlian untuk disabilitas, namun kasus Kekerasan Terhadap Anak Perempuan/KTAp terus mengalir dan didominasi oleh kekerasan seksual sebanyak 34 kasus (21%). Yang mengejutkan, bukan hanya jumlah anak perempuan yang meningkat, tetapi juga perempuan penyandang disabilitas yang mengalami kekerasan seksual semakin terlihat dengan jelas. Terdapat 6 kasus yang ditangani WCC Sinceitas-Pesada di 2018, salah satu kisahnya sbb:
Ros, seorang anak perempuan berumur 13 tahun. Masih kelas 5 SD, dari sebuah desa. Dia penyandang disabilitas, berkebutuhan khusus karena tidak mampu mendengar dan berbicara. Ros mengalami perkosaan oleh dua laki-laki dewasa yang juga keluarga besarnya, yang berumur 2 kali bahkan sampai 4 kali lipat umurnya; yaitu Paman X 35 tahun, dan Kakek Y 60 tahun. Ros kemudian hamil dan baru diketahui oleh gurunya (bukan keluarga) setelah usia kehamilan 7 bulan. Ros menjadi Ibu berusia anak, yang mempunyai bayi. Dan dia, penyandang disabilitas.
Dari kasus di atas, korban mengalami beberapa lapis issue yang menyangkut bukan hanya jenis kelamin dan usia anak, tetapi jenis disabilitas yang dialami oleh Ros, dan hubungan dengan pelaku yang sangat tidak seimbang secara umur, ditambah dengan hubungan keluarga. Bahkan kemungkinan besar keluarga abai terhadap jadwal haid Ros, sehingga 7 bulan usia kehamilan tidak diketahui oleh keluargaataukah pura-pura tidak tahu???
Kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan terutama anak perempuan penyandang disabilitas jauh lebih serius daripada kekerasan seksual biasa. Meski dalam kategori disabilitas Ros disebut sebagai penyandang disabilitas fisik, tetapi ketidak tahuan atas hak yang harus dipenuhi dan perlindungan atas hak-hak tersebut belum disadari oleh banyak keluarga dan masyarakat di sekitar para penyandang disabilitas. Disabilitas fisik akan selalu berpengaruh terhadap intelektualitas karena keterbatasan akses terhadap pendidikan misalnya, dan rasa kurang percaya diri bahkan ketakutan yang berakibat secara psikis. Apalagi bila pelaku kekerasan (perkosaan) adalah orang tua, masih keluarga, dan sebagainya.
Indonesia telah mengeluarkan UU No.8 tahun 2016 untuk perlindungan disabilitas Tetapi meski UU telah hampr berusia 3 tahun, tetapi pemahaman umum (keluarga dan masyarakat serta lembaga pendidikan) masih minim, bahkan terkadang APH (Aparat Penegak Hukum) masih belum memahami betul isi UU tersebut. Di pasal 1 disebut bahwa Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Selain pengertian disabilitas di pasal 5 ayat satu UU ini menyebut 22 hak penyandang disabilitas, a.l. keadilan dan perlindungan hokum, dan bebas dari tindakan diskriminatif, penelantaran, penyiksaan dan eksploitasi. Khusus untuk perempuan, hak penyandang disabilitas dimuat di pasal 5 ayat dua yaitu: hak atas kesehatan reproduksi; menerima atau menolak penggunaan alat kontrasepsi;mendapatkan pelindungan lebih dari perlakuan diskriminasi berlapis; dan untuk mendapatkan pelindungan lebih dari tindak kekerasan, termasuk kekerasan dan eksploitasi seksual.
Dalam pengalaman mendampingi kasus penyandang disabilitas, WCC Sinceritas- Pesada mengalami berbagai tantangan, a.l. kesulitan mengambil kronologi kasus dan dalam mendampingi saat pengaduan di Kantor Polisi. Saat pengambilan keterangan, tenaga ahli tidak selalu tersedia, dan bahkan sulit. Ahli yang paham bahasa isyarat ataupun bisa menterjemahkan apa yang dimaksud korban, termasuk menenangkannya apabila timbul rasa takut dan berbagai reaksi lainnya. Terlebih bila kasusnya adalah perkosaan incest atau dugaan pelaku adalah anggota keluarga dan orang-orang dekat, akan sangat kesulitan untuk memberi kesaksian. Pengambilan keterangan dari anggota keluarga sering terhambat dengan berbagai alasan.
Berdasarkan pengalaman dalam beberapa tahun terakhir, WCC Sinceritas-Pesada percaya bahwa jumlah kasus yang ditangani menjadi petunjuk banyaknya kasus yang tidak selalu dapat langsung terdengar dan ditangani. Kasus terdengar ke luar rumah hanya ketika korban hamil, atau tertangkap basah sedang mengalami kekerasan.
Untuk itu WCC Sinceritas-Pesada menghimbau:

  1. Agar seluruh keluarga yang mempunyai anggota keluarga penyandang disabilitas memahami kebutuhan dan permasalahan berbeda yang dialami penyandang disabilitas, terutama perempuan dan anak perempuan. Hak-hak mereka atas pendidikan, kesehatan reproduksi dan pengetahuan mengenai tubuh, khususnya kepercayaan diri dan keberanian melawan kekerasan seksual sangat mendesak
  2. Agar seluruh masyarakat mempelajari isi UU RI No 8 Tahun 2016 dan peka terhadap kebutuhan keluarga-keluarga yang mempunyai anggota keluarga penyandang disabilitas, memahami kebutuhan khusus mereka dan bersedia membantu apabil terdapat masalah yang dihadapi, atau diduga bermasalah. Bersedia melapor dan menjadi saksi bila terjadi kasus pelanggaran hukum.
  3. Agar APH memahami kebutuhan khusus dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas, khususnya dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan penyadang disabilitas. Termasuk pendampingan khusus dan ketersediaan saksi ahli.
  4. Agar Pemerintah Daerah di Provinsi Sumatera Utara mengembangkan kebijakan yang inklusif untuk pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.
  5. Agar Pemerintah dan DPR RI mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Penyandang disabilitas, khususnya perempuan mempunyai tantangan yang berbeda karena tubuhnya. Mereka mempunyai hak azasi yang yang harus dikenali, dididik, dilindungi, dan dipenuhi.

Medan, 25 Februari 2019.
Dina Lumbantobing
Koordinator

No.HP 082164289869, WA 082164666615

 

Siaran Pers WCC Sinceritas-PESADA

Siaran Pers WCC Sinceritas-PESADA
Nomor: 09/D.5/P.J. Sinceritas/Pesada-Mdn/II/2019

Perempuan Penyandang Disabilitas khususnya Anak Perempuan

Rentan Terhadap Kekerasan Seksual dan Perkosaan Incest.

Sepanjang tahun 2018, WCC Sinceritas-Pesada menangani secara langsung 159 kasus perempuan korban kekerasan. Mayoritas kasus untuk perempuan dewasa cenderung sama pola maupun jumlah sebagaimana di tahun-tahun sebelumnya, yaitu KDRT sebanyak 81 kasus (51%) dan kekerasan di arena publik sebanyak 44 kasus (28%). Meski WCC Sinceritas-Pesada dimaksudkan untuk penanganan perempuan non anak dan tidak mempunyai keahlian untuk disabilitas, namun kasus Kekerasan Terhadap Anak Perempuan/KTAp terus mengalir dan didominasi oleh kekerasan seksual sebanyak 34 kasus (21%). Yang mengejutkan, bukan hanya jumlah anak perempuan yang meningkat, tetapi juga perempuan penyandang disabilitas yang mengalami kekerasan seksual semakin terlihat dengan jelas. Terdapat 6 kasus yang ditangani WCC Sinceitas-Pesada di 2018, salah satu kisahnya sbb:
Ros, seorang anak perempuan berumur 13 tahun. Masih kelas 5 SD, dari sebuah desa. Dia penyandang disabilitas, berkebutuhan khusus karena tidak mampu mendengar dan berbicara. Ros mengalami perkosaan oleh dua laki-laki dewasa yang juga keluarga besarnya, yang berumur 2 kali bahkan sampai 4 kali lipat umurnya; yaitu Paman X 35 tahun, dan Kakek Y 60 tahun. Ros kemudian hamil dan baru diketahui oleh gurunya (bukan keluarga) setelah usia kehamilan 7 bulan. Ros menjadi Ibu berusia anak, yang mempunyai bayi. Dan dia, penyandang disabilitas.
Dari kasus di atas, korban mengalami beberapa lapis issue yang menyangkut bukan hanya jenis kelamin dan usia anak, tetapi jenis disabilitas yang dialami oleh Ros, dan hubungan dengan pelaku yang sangat tidak seimbang secara umur, ditambah dengan hubungan keluarga. Bahkan kemungkinan besar keluarga abai terhadap jadwal haid Ros, sehingga 7 bulan usia kehamilan tidak diketahui oleh keluargaataukah pura-pura tidak tahu???
Kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan terutama anak perempuan penyandang disabilitas jauh lebih serius daripada kekerasan seksual biasa. Meski dalam kategori disabilitas Ros disebut sebagai penyandang disabilitas fisik, tetapi ketidak tahuan atas hak yang harus dipenuhi dan perlindungan atas hak-hak tersebut belum disadari oleh banyak keluarga dan masyarakat di sekitar para penyandang disabilitas. Disabilitas fisik akan selalu berpengaruh terhadap intelektualitas karena keterbatasan akses terhadap pendidikan misalnya, dan rasa kurang percaya diri bahkan ketakutan yang berakibat secara psikis. Apalagi bila pelaku kekerasan (perkosaan) adalah orang tua, masih keluarga, dan sebagainya.
Indonesia telah mengeluarkan UU No.8 tahun 2016 untuk perlindungan disabilitas Tetapi meski UU telah hampr berusia 3 tahun, tetapi pemahaman umum (keluarga dan masyarakat serta lembaga pendidikan) masih minim, bahkan terkadang APH (Aparat Penegak Hukum) masih belum memahami betul isi UU tersebut. Di pasal 1 disebut bahwa Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Selain pengertian disabilitas di pasal 5 ayat satu UU ini menyebut 22 hak penyandang disabilitas, a.l. keadilan dan perlindungan hokum, dan bebas dari tindakan diskriminatif, penelantaran, penyiksaan dan eksploitasi. Khusus untuk perempuan, hak penyandang disabilitas dimuat di pasal 5 ayat dua yaitu: hak atas kesehatan reproduksi; menerima atau menolak penggunaan alat kontrasepsi;mendapatkan pelindungan lebih dari perlakuan diskriminasi berlapis; dan untuk mendapatkan pelindungan lebih dari tindak kekerasan, termasuk kekerasan dan eksploitasi seksual.
Dalam pengalaman mendampingi kasus penyandang disabilitas, WCC Sinceritas- Pesada mengalami berbagai tantangan, a.l. kesulitan mengambil kronologi kasus dan dalam mendampingi saat pengaduan di Kantor Polisi. Saat pengambilan keterangan, tenaga ahli tidak selalu tersedia, dan bahkan sulit. Ahli yang paham bahasa isyarat ataupun bisa menterjemahkan apa yang dimaksud korban, termasuk menenangkannya apabila timbul rasa takut dan berbagai reaksi lainnya. Terlebih bila kasusnya adalah perkosaan incest atau dugaan pelaku adalah anggota keluarga dan orang-orang dekat, akan sangat kesulitan untuk memberi kesaksian. Pengambilan keterangan dari anggota keluarga sering terhambat dengan berbagai alasan.
Berdasarkan pengalaman dalam beberapa tahun terakhir, WCC Sinceritas-Pesada percaya bahwa jumlah kasus yang ditangani menjadi petunjuk banyaknya kasus yang tidak selalu dapat langsung terdengar dan ditangani. Kasus terdengar ke luar rumah hanya ketika korban hamil, atau tertangkap basah sedang mengalami kekerasan.
Untuk itu WCC Sinceritas-Pesada menghimbau:

  1. Agar seluruh keluarga yang mempunyai anggota keluarga penyandang disabilitas memahami kebutuhan dan permasalahan berbeda yang dialami penyandang disabilitas, terutama perempuan dan anak perempuan. Hak-hak mereka atas pendidikan, kesehatan reproduksi dan pengetahuan mengenai tubuh, khususnya kepercayaan diri dan keberanian melawan kekerasan seksual sangat mendesak
  2. Agar seluruh masyarakat mempelajari isi UU RI No 8 Tahun 2016 dan peka terhadap kebutuhan keluarga-keluarga yang mempunyai anggota keluarga penyandang disabilitas, memahami kebutuhan khusus mereka dan bersedia membantu apabil terdapat masalah yang dihadapi, atau diduga bermasalah. Bersedia melapor dan menjadi saksi bila terjadi kasus pelanggaran hukum.
  3. Agar APH memahami kebutuhan khusus dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas, khususnya dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan penyadang disabilitas. Termasuk pendampingan khusus dan ketersediaan saksi ahli.
  4. Agar Pemerintah Daerah di Provinsi Sumatera Utara mengembangkan kebijakan yang inklusif untuk pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.
  5. Agar Pemerintah dan DPR RI mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Penyandang disabilitas, khususnya perempuan mempunyai tantangan yang berbeda karena tubuhnya. Mereka mempunyai hak azasi yang yang harus dikenali, dididik, dilindungi, dan dipenuhi.

Medan, 25 Februari 2019.
Dina Lumbantobing
Koordinator

No.HP 082164289869, WA 082164666615

Siaran Pers Pesada

Mengecam KEKOSONGAN PEREMPUAN di Bawaslu 19 Kabupaten/Kota dan MINIMNYA PEREMPUAN di BAWASLU seluruh SUMUT Periode 2018-2023.

Siaran Pers PESADA No: 49/D.7/Pesada/Koord.Sinceritas/VIII/2018

Tindakan khusus percepatan jumlah perempuan melalui quota pada dasarnya telah digariskan di berbagai peraturan negara. Salah satu yang paling nyata adalah di di UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu pada pasal 92 ayat 11 yang menyebutkan bahwa KOMPOSISI KEANGGOTAAN BAWASLU, BAWASLU PROVINSI, DAN BAWASLU KABUPATEN/KOTA MEMPERHATIKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN PALING SEDIKIT 30% (TIGA PULUH PERSEN).

Tetapi pada kenyataannya hasi seleksi baru-baru ini menjukkan hanya 1 perempuan dari 7 anggota Bawaslu Provinsi Sumut, atau sama dengan 14%. Sementara di Bawaslu Kabupaten & Kota, hanya 15 perempuan dari 115 orang anggota, atau sama dengan 13%. Jauh di bawah 30%!

Untuk Bawaslu Kab/Kota, perempuan hanya berada di 9 Kabupaten dan 5 Kota, yaitu: Kab. Tapanuli Tengah, Langkat, Karo, Deli Serdang, Asahan, Dairi, Nias Selatan dan Humbang Hasundutan, Padang Lawas Utara, Kota Pematang Siantar, Sibolga, Binjai, Tebing Tinggi dan Gunung Sitoli. Untuk Kota Tebing Tinggi, terdapat 2 perempuan dari 3 anggota (66%), sementara di 19 Kab.kota kosong perempuan. SUNGGUH IRONIS!

PESADA sebagai lembaga penguatan perempuan mempertanyakan komitmen bahkan mengecam Panitia Seleksi Bawaslu Provinsi Sumut Periode 2018-2023 mengenai pentingnya perempuan dalam proses pemilihan sebagai salah satu indicator demokrasi khususnya dalam menjaga kualitas pemilihan.

Kekosongan di sebagian besar wilayah tingkat dua dan rendahnya prosentase perempuan secara keseluruhan adalah wajah dari ketidak perdulian tim seleksi terhadap pentingnya keterwakilan bahkan kesetaraan perempuan dan laki-laki di semua institusi publik, sebagaimana diamanahkan dalam UU RI No 7 tahun 2017 dan Nawacita, sub-agenda prioritas 2 dari agenda prioritas kedua (membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya), yaitu meningkatkan peranan dan keterwakilan perempuan dalam politik dan pembangunan .

Kebijakan affirmative untuk perempuan yang seyogyanya berada di prosentase paling minim yaitu 30%, sejauh ini terlihat hanya sebatas himbauan dari Pemerintah, yang cenderung diabaikan dan pelanggarannya tanpa sanksi. Ini sangat jelas terlihat dari hasil seleksi seperti tersebut di atas.

Bila demikian, bagaimana pertanggung-jawaban Tim Seleksi sebagai sebuah tim yang bertanggung jawab untuk jalannya demokrasi? Adakah demokrasi tanpa keterwakilan minimal perempuan di seluruh lembaga pelaksana khususnya pengawasan seperti Bawaslu??? Apakah demokrasi telah menjadi arena transaksi sebagaimana telah disampaikan oleh beberapa calon perempuan dan dugaan umum berbagai pihak? Bagi Pesada ini adalah pelanggaran UU dan Kekerasan Politik Sistematis kepada Perempuan.

Minimnya keterwakilan Perempuan dalam Keanggotaan Bawaslu Se-Sumut tersebut harus menjadi peringatan bagi Tim Seleksi KPU Provinsi dan Kab/Kota di Sumatera Utara agar konsisten menjalankan amanat pasal 10 (ayat 7) UU RI No 7 Tahun 2017. Pesada perlu mengingatkan bahwa komposisi keanggotaan KPU, yaitu keanggotaan KPU Provinsi, dan keanggotaan KPU Kabupaten/Kota harus menunjukkan secara konkrit keterwakilan perempuan, paling sedikit 30% (tiga puluh persen).

KETERWAKILAN PEREMPUAN ADALAH AMANAH, MANDAT DAN KEWAJIBAN.

Medan, 15 Agustus 2018

A.n. PESADA

Dina Lumbantobing

Manajemen Pengetahuan & Jaringan, Koord.WCC Sinceritas

Contact Person (Dina Lt.-WA 082164666615 dan King Ronald Silalahi-081314035304).